ITB FMIPA Bosscha Observatory Indonesian Flag

Nurtanio Pringgoadisuryo Memorial Lecture 2025: Jejak Kosmolog Wanita Pertama Indonesia, Prof. Premana W. Premadi

02 Dec 2025, 10:24

Perhelatan “Nurtanio Award dan Nurtanio Pringgoadisuryo Memorial Lecture 2025” menjadi ruang istimewa bagi para ilmuwan kedirgantaraan di Indonesia. Pada tanggal 27 November 2025 di Auditorium Soemitro Djojohadikusumo, Gedung BJ Habibie, Jakarta, panggung kehormatan tersebut menghadirkan sosok yang telah lama menjadi inspirasi dalam dunia astronomi Indonesia, yaitu Prof. Premana Wardayanti Premadi, Ph.D. Beliau adalah astronom Indonesia dan wanita pertama Indonesia yang namanya diabadikan pada asteroid 12937 Premadi, sebuah penghargaan dari International Astronomical Union (IAU) atas kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Lahir di Surabaya pada 13 Juli 1964, perjalanan akademiknya membentang dari Astronomi ITB (1988) hingga meraih gelar doktor di University of Texas di Austin yang menjadikannya wanita Indonesia pertama yang meraih gelar Ph.D. di bidang astrofisika pada tahun 1996. Pada tahun 2018–2023, beliau menjabat sebagai Kepala Observatorium Bosscha dan menjadi wanita pertama yang memimpin lembaga astronomi bersejarah tersebut. Dedikasi dan kepemimpinannya kembali menguat ketika pada tahun 2024 beliau menyampaikan orasi guru besar dalam bidang astrofisika dan kosmologi, sebuah tonggak yang menegaskan perannya sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan astronomi Indonesia.

Melalui video singkat pengenalan, Prof. Premana membagikan refleksi yang hangat tentang hubungan manusia dan semesta: “Alam semesta tersedia untuk kita tanya dan kemudian membuat kita merasa terpanggil untuk menjawab pertanyaan itu.” Baginya, galaksi adalah objek yang paling mempesona karena tidak ada dua galaksi yang sama, masing-masing tumbuh dan berkembang seperti manusia yang dipengaruhi lingkungannya dan tampil dalam wujud yang berbeda. Ketertarikannya pada evolusi struktur skala besar alam semesta telah melahirkan berbagai karya ilmiah penting. Salah satunya, publikasi mengenai “Simulasi Komputasional Lensa Gravitasi Kosmologi terhadap Distribusi Supernova” yang hingga kini dirujuk dalam pengembangan teleskop generasi terbaru seperti Rubin Observatory (2025) dan Nancy Grace Roman Space Telescope (2027). Prof. Premana bukan sekadar peneliti berprestasi, tetapi juga figur yang sangat peduli pada pendidikan sains. Beliau terlibat dalam berbagai inisiatif literasi astronomi, termasuk program Universe Awareness for Children yang memperkenalkan keajaiban astronomi kepada anak-anak di berbagai daerah di Indonesia. Beliau juga aktif mengembangkan program pendidikan sains untuk masyarakat terpencil, termasuk di sekitar Observatorium Nasional Timau, Nusa Tenggara Timur. Beliau menekankan pentingnya menjembatani jurang literasi sains yang semakin melebar supaya masyarakat terutama anak-anak bisa mengikuti perkembangan sains.

Dalam kuliah memorial yang dibawakannya, Prof. Premana membuka dengan satu pernyataan yang langsung memancang arah pembahasan, “astronomi adalah bidang yang teramat luas, megah, dan kaya. Terlalu megah untuk dinikmati seorang diri”, ujarnya. Beliau menayangkan sebuah video dari wahana antariksa Kaguya milik Jepang yang mengorbit sangat dekat dengan Bulan. Dari sudut pandang itu, Bumi tampak terbit dan terbenam seperti halnya Matahari. Bagi Prof. Premana, cuplikan pendek itu menyimpan dua makna besar. Pertama, hadirnya dorongan teknologi yang begitu kuat hingga manusia mampu melihat kampung halamannya sendiri dari dunia lain. Kedua, perspektif itu mengingatkan kita bahwa Bumi bukan pusat segalanya, ia hanya satu titik kecil di antara banyak tempat lain yang mengundang pertanyaan lama, “sebenarnya, di mana kita dalam semesta ini?.” Menurutnya, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang ingin tahu. Rasa ingin tahu itu begitu kuat hingga mendorong peradaban untuk meninggalkan sistemnya sendiri dan pergi untuk menjelajah. Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, manusia mengembangkan berbagai cara, dari berjalan kaki, berkendara, hingga membangun teknologi ruang angkasa. Pertanyaan-pertanyaan besar kemudian dirapikan menjadi pertanyaan ilmiah sebagai batu-batu pijakan yang membawa kita sedikit demi sedikit mendekati jawaban.

Prof. Premana kemudian mengajak hadirin menelusuri posisi manusia dalam skala kosmik, dari Bumi, Tata Surya, hingga struktur besar Galaksi Bima Sakti. Dengan menggabungkan berbagai disiplin seperti astronomi, biologi, hingga geologi, kita perlahan berhasil menyusun sejarah keberadaan kita sendiri. Beliau juga menggambarkan bagaimana unsur-unsur kimia dalam tubuh manusia terbentuk melalui reaksi nuklir di dalam bintang. Ketika bintang-bintang masif meledak, sebagian materinya tersebar dan suatu saat jatuh ke Bumi sehingga memperkaya planet ini dan memungkinkan adanya kehidupan. Dalam pengertian paling literal, maka manusia dan bintang memiliki hubungan darah kosmik. Namun, materi yang tiba di Bumi hanya sedikit karena atmosfer melindungi kita sekaligus menapis sebagian besar radiasi dari luar angkasa. Artinya, jika ingin mengetahui lebih banyak, maka manusia harus melihat apa yang tidak dapat ditembus oleh atmosfer. Oleh karena itu, lahirlah teleskop luar angkasa dengan instrumen yang membawa mata manusia keluar atmosfer mulai dari panjang gelombang radio hingga sinar-X yang masing-masing memunculkan informasi yang berbeda. Mengirimkan instrumen ke luar angkasa bukan hal sederhana. Tantangan pertama adalah teknologi roket dan kebutuhan bahan bakar yang meningkat seiring bertambahnya jarak. Manusia kemudian menemukan cara untuk meminjam energi benda langit melalui teknik gravity assist slingshot, konsepnya seperti ketapel yang memanfaatkan dinamika tiga benda. Ini adalah problem mekanika yang rumit dan hanya dapat diselesaikan secara numerik menggunakan komputasi modern. Selain itu, semua benda langit terus bergerak. Konsekuensinya adalah posisi, waktu, dan lintasan harus dihitung berulang-ulang. Bahkan, sistem navigasi sehari-hari seperti GPS membutuhkan koreksi relativistik karena satelit mengorbit cepat di medan gravitasi yang melengkung menurut teori Einstein.

Prof. Premana kemudian membahas fenomena lensa gravitasi, yaitu kondisi ketika cahaya dari objek jauh dibelokkan oleh massa besar yang berada di depannya. Keberadaan lensa gravitasi ini pernah dibuktikan melalui citra gugus galaksi yang diambil Hubble Space Telescope sekitar sembilan tahun lalu dan kemudian diperkuat oleh pengamatan James Webb Space Telescope yang menunjukkan distorsi cahaya dengan lebih jelas. Melalui fenomena ini, para ilmuwan dapat mendeteksi massa yang tidak tampak seperti materi gelap yang tidak berinteraksi dengan foton. Salah satu manfaatnya adalah memungkinkan studi tentang supernova yang perilakunya dipengaruhi oleh distribusi massa tak terlihat tersebut. Beliau juga menekankan kembali mengenai teori Einstein yang mampu menggambarkan kondisi fisik paling ekstrim di alam semesta, seperti sifat bintang neutron maupun keberadaan lubang hitam. Selain membahas aspek teoritis, Prof. Premana menyoroti pentingnya penerbangan antariksa bukan hanya untuk memahami alam semesta, tetapi juga untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya, pemahaman tentang cuaca antariksa (termasuk aktivitas Matahari) sangat penting karena dapat mempengaruhi jaringan listrik dan sistem telekomunikasi. Di sisi lain, pemantauan Bumi dari orbit membantu manusia membaca perubahan lingkungan serta dinamika cuaca global. Pada bagian akhir, Prof. Premana menyinggung proyek strategis nasional, yaitu pembangunan Observatorium Nasional Timau di Nusa Tenggara Timur, kolaborasi antara BRIN, Universitas Cendana, ITB, pemerintah provinsi, dan Kabupaten Kupang. Selain fasilitas observatorium, program pengabdian masyarakat juga telah berjalan untuk meningkatkan pendidikan sains di daerah tersebut.

Menutup pemaparan kuliahnya, Prof. Premana membagikan kisah pribadi tentang mimpinya di masa muda. Ia pernah bercita-cita menjadi penerbang, tetapi merasa tidak memiliki cukup peluang untuk menempuh jalur itu. Meski begitu, pada tahun 1991 ia sempat merasakan pengalaman berada di dalam kokpit dan memegang kemudi pesawat bersama kawannya. Itu merupakan sebuah momen yang mendekatkannya pada mimpi yang tak sepenuhnya tercapai. “Mimpi itu kadang berbelok,” ujarnya. Hal ini menegaskan bahwa meskipun cita-cita awalnya tak tergapai, mimpi lain justru tumbuh dan terwujud. Melalui perjalanan karirnya, dari penghargaan asteroid hingga gelar Honorary Fellow Royal Astronomical Society (2023), Prof. Premana menunjukkan bagaimana seorang perempuan Indonesia dapat menembus batas dan membuka jalan bagi generasi berikutnya. Pesannya untuk anak muda yang disampaikan dalam video pengenalan singkat, yaitu “Jangan cepat putus asa. Tantangan selalu ada. Astronomi adalah dunia internasional. Ada banyak kesempatan untuk maju bersama.”. [LH]

© 2025 ITB Astronomy Study Program